Aku terduduk di sudut ruangan kedai kopi ini.
Kedai kopi kecil di pinggiran kota, pengunjungnya tak banyak. Hanya ada satu
orang tua yang sedang menunggu minuman pesanannya datang. Bartender tengah
sibuk membuatkannya, menggrinder kopi dan memanaskan air. Di sudut ruangan
lainnya, ada seorang pemuda yang tengah sibuk dengan buku gambarnya. Mungkin
dia pelukis.
Sedangkan aku, sedang menunggu seorang
sahabatku datang. Kami biasa bertemu seminggu sekali di kedai kopi ini,
membicarakan apa saja bertukar pikiran apa saja. Kami tidak mengharapkan sebuah
jawaban dari diskusi kami selama ini, hanya butuh bicara dan didengarkan. Itu
saja.
Aku baru saja menyalakan rokokku ketika seorang
pemuda datang, memakai mantel coklat penahan hawa dingin di luar. Tubuhnya
ramping, memakai celana panjang gelap dan sepatu hitam. Dia sahabatku.
Sahabatku yang sudah bertahun-tahun mengenalku. Setiap fase kehidupan kami,
kami saling tahu.
“Halo..” ucapnya padaku. Aku balas sapanya
dengan anggukan. Tak lama setelah duduk ia langsung memesan cappuccino
kegemarannya, tak banyak susu tak terlalu manis. Sedangkan aku masih asyik
menyeruput kopi hitam tanpa gula. Pahit memang, tapi tak sepahit hidup.
Wajah
sahabatku tampak lain, dia seperti sumringah dan ceria. Matanya tak seperti biasanya,
matanya penuh kata-kata yang ingin segera ia ucapkan padaku.
“Apalagi yang kau punya hari ini?” tanyaku.
Dia senyum padaku. Matanya berbinar memancarkan
suka. Senyumnya merekah, tak lama tawanya merambah kesunyian kedai di sore itu.
“Sahabatku, tampaknya kau terlihat bahagia..ada
apa yang terjadi? Apa roti-rotimu banyak laku terjual? Ah tampaknya bukan. Apa
kau baru saja membaca buku humor khas sufi-sufi yang suka kau agung-agungkan
itu? Ah, tampaknya bukan juga. Lalu apa?” aku menyeruput kopiku lagi, menyesap
rokokku lagi.
“Hahaha. Aku tak sesenang ini jika itu yang kau
anggap bisa membuatku gembira. Roti-rotiku sering terjual banyak, aku tak
sesenang ini. Ya, aku senang jika rotiku terjual banyak, tapi tak lama, karena
kegembiraanku tak lama kemudian habis, sibuk berpikir untuk mengatur
uang-uangku. Hahaha. Jika kau pikir humor-humor sufi membuatku sesenang ini,
itu pun tidak. Aku tak akan sesenang ini karena mendengar humor rumi atau al
hallaj. Bagiku humor-humor itu bukan untuk tertawaan. Bukan untuk penghiburan,
bagiku itu sebuah pertanyaan.” Dia berkata lugas, namun tetap tak bisa
menyembunyikan senyum rahasia itu di wajahnya.
“Lalu apa? Apa kau kemari untuk membiacarakan
usaha rotimu, atau ide-ide Rumi yang tak pernah kita mengerti? Aku hanya
penasaran ada apa di balik senyummu yang tak biasa itu.”
“Senyumku tak biasa ya. Bisa jadi karena
perasaanku yang tak biasa juga. Ya, wajah adalah cerminan hati. Bisa benar
begitu, aku bukan psikopat yang hebat dalam urusan merubah wajah agar tak
sesuai kata hati. Ya, aku sedang mengalami satu perasaan hebat yang tak kunjung
reda. “
“Perasaan hebat? Ah, jangan-jangan kau sedang
jatuh cinta..?”
“Apa lagi hal klise di dunia ini yang bisa
membuatku tersenyum rahasia seperti yang kau bilang tadi. Apa lagi hal populer
di dunia ini yang bisa membuat orang begitu terpikat untuk mengalaminya. Iya,
aku jatuh cinta, sahabatku.”
“Hahahah. Cinta? Kau jatuh cinta. Ibuku pernah
bilang padaku, jika kau berani-berani jatuh cinta, kau harus berani patah hati
wahai sahabatku. Siapkah kau untuk itu? Perempuan mana yang kau cintai itu?”
“Memang benar kata ibumu. Tapi bukan berarti
nasihat itu membuat aku menolak untuk jatuh cinta. Seperti yang kau lihat,
jatuh cinta itu membuat aku seperti orang gila. Senyum-senyum seperti ini, ya
bukan cinta namanya kalau tidak gila. Anggap saja ini kegilaan yang
menyenangkan. Hahaha. Kata-kata ibumu memang benar. Cinta memang akan membawa
patah hati. Segala sesuatu diciptakan berpasang-pasangan di dunia ini. Sebab
akibat, hidup mati, baik buruk, begitu pun cinta. Ya, anggap saja dualisme yang
menimbulkan harmoni.”
“Aku tak
menyalahkanmu untuk jatuh cinta, itu perasaanmu, itu yang akan kau alami
sendiri. Saranku cuma satu, jangan kau terlalu mencintai seseorang jika tidak
mau takdir cemburu.”
“Hahaha. Biarlah takdir yang menentukan, dia
akan cemburu atau tidak. Kita akan mengetahuinya nanti..”
“Jadi siapa perempuan itu? Nyonya yang
ditinggal mati suaminya langganan rotimu?”
“Bukan. Hahaha. Tentu saja bukan. Perempuan itu
aku temui di pesta dansa kemarin. Wajahnya lugu, sepertinya beberapa tahun
lebih muda dariku. Tentu saja ia cantik, menurut versiku. Matanya cantik
menurut versiku, bibirnya cantik menurut versiku…”
“Stop. Jangan kau teruskan tentang relatifitas
cantik itu. Lalu, apa yang terjadi ketika malam pesta dansa itu?”
“Aku mencium bibirnya.”
“hahaha. Kau berani mencium bibirnya pada saat
pertama kali bertemu? Kau anggap itu cinta bukan birahi?”
“Sahabatku, cinta tanpa birahi sungguhlah
sulit. Terkecuali untuk ibu, adik-adikku, saudara-saudara perempuanku yang
dekat dengan keluargaku. Tentu saja cintaku padanya bukan termasuk cinta
platonik yang terlepas dari unsur-unsur fisik seperti kata Plato. Aku pun
sebenarnya tak mau mengotakkan cinta apa yang ku alami saat ini. Biarkanlah
cinta ini mengikuti alurnya. Biarkanlah aku menikmati rasa ini.”
“Ya, biarlah. Tak ada yang melarang kau jatuh
cinta. Lalu, perempuan mana yang kau cium di pesta dansa itu? Bukan perempuan
mabuk kan?”
“Tentu saja bukan. Dia anak perempuan dari
keluarga yang mengadakan pesta dansa itu. Anak perempuan satu-satunya di
keluarga itu. Anak perempuan dari keluarga Capulet.”
“Apa?? Keluarga capulet. Kau menyelinap masuk
di pesta dansa keluarga capulet? Benar-benar kau ini. Baru saja aku bilang tak
ada yang melarang kau jatuh cinta. Berlakukah kata-kataku itu jika perempuan
yang kau cintai adalah anak perempuan dari keluarga Capulet?”
“Bisa iya, bisa jadi tidak. Apakah dengan
larangan aku akan mati dan tak bisa berbuat apa-apa? Sahabatku, aku benar-benar
mencintainya. Aku tak peduli dari keluarga mana ia berasal, aku tak peduli dia
Capulet. Aku tak peduli keluarganya adalah musuh bagi keluargaku. Aku tak
peduli itu, jika aku mengatakan aku mencintainya dan mundur untuk
memperjuangkan dan lebih memilih diam karena larangan, berarti aku tak benar-benar
menginginkannya.”
Dia menyeruput kopinya sebentar, sambil
terburu-buru beranjak pergi. Lalu berkata, “Aku akan menikahinya, jika perlu
bertaruh nyawa.”
Kopiku mendingin.