Sabtu, 06 Februari 2016

Romantisme Mati Muda (Omong Kosong)

Saya habis membaca "Kitab Omong Kosong" milik Seno Gumira Ajidarma. Dan merasa kosong seketika, (selain juga menjadi pengagum Hanuman, Sang Wanara Agung). Sekosong-kosongnya. Saya kesulitan keluar dari cerita dalam kitab setebal 444 halaman itu selama berhari-hari. Berharap Hanuman pemberani yang bebulu keperakan, mengenakan kain catur, berdada bidang, perkasa, penjaga budaya, anak dari Dewi Anjani dan Batara Guru, juga murid dari Batara Bayu itu melesat di udara lalu nangkring di jendela kamar saya. Berbincang, memberi wejangan-wejangan dalam bentuk diskusi filosofis.

Saya merasa perlu mencari -entah apa- yang bisa menutup kekosongan itu. Saya membaca, bergelut, merenungkan cara pengusiran kegelisahan. Kitab ini sebetulnya mengisi kekosongan saya yang sudah menganga sejak jauh hari, namun sekaligus mengosongkan -entah rongga apa- dalam tubuh saya. Saya menolak jawaban, saran-saran, bersifat tuntunan yang terdengar cliche.

"Hati manusia adalah labirin dalam kegelapan, tanpa akalnya siapa pun tak kan menemu jalan." -Kitab Omong Kosong (143)-

Pun akal saya tidur terlalu lama. Akibatnya ada banyak ruang kosong. Kosong ilmu, kosong hasrat, kosong... makna. Saya heran, karena saya bernafas, jantung saya berdetak, tapi tak bermakna hidup. Saya tertawa, bercanda, berbincang dengan orang sekitar, bertingkah seperti biasa, semua tak lebih dari tuntutan peran sebagai anak manusia. Disorientation. Kekosongan tak ubahnya black hole. Lubang Hitam dengan gravitasi kuat, menarik seperti magnet, membuat kamu berputar-putar hingga terasa mual.

Lelah, tak ada gairah, dan akal masih saja mendengkur. Lalu belakangan rasa kosong itu jadi terasa mesra, seperti kehabisan tenaga meronta saat diperkosa, lalu pasrah jadinya. Saya lepaskan kendali, diam saja, menyerahkan pada Sang Kala (waktu). Mari berdamai.

"[...] kekosongan menantang penciptaan, kehidupan menjadi jalan pemahaman, dalam peng-alam-an manusia menuju pencerahan. Tanpa Kitab Keheningan, kebergunaan hanya mencapai langit di luar [...] Makna menjadi kesegalaan dalam kemanusiaan, menjadi Mahamakna yang menentukan, dalam penjelajahan manusia yang mencari, sepanjang semesta kesunyian." -Kitab Omong Kosong [438]- 

Ssstt..., Waktu, berhentilah secepatnya. Saya pusing!


Read: Secangkir Kopi Sebelum Mati        

Jumat, 04 Desember 2015

Secangkir Kopi Sebelum Mati

Aku terduduk di sudut ruangan kedai kopi ini. Kedai kopi kecil di pinggiran kota, pengunjungnya tak banyak. Hanya ada satu orang tua yang sedang menunggu minuman pesanannya datang. Bartender tengah sibuk membuatkannya, menggrinder kopi dan memanaskan air. Di sudut ruangan lainnya, ada seorang pemuda yang tengah sibuk dengan buku gambarnya. Mungkin dia pelukis.

Sedangkan aku, sedang menunggu seorang sahabatku datang. Kami biasa bertemu seminggu sekali di kedai kopi ini, membicarakan apa saja bertukar pikiran apa saja. Kami tidak mengharapkan sebuah jawaban dari diskusi kami selama ini, hanya butuh bicara dan didengarkan. Itu saja.

Aku baru saja menyalakan rokokku ketika seorang pemuda datang, memakai mantel coklat penahan hawa dingin di luar. Tubuhnya ramping, memakai celana panjang gelap dan sepatu hitam. Dia sahabatku. Sahabatku yang sudah bertahun-tahun mengenalku. Setiap fase kehidupan kami, kami saling tahu.

“Halo..” ucapnya padaku. Aku balas sapanya dengan anggukan. Tak lama setelah duduk ia langsung memesan cappuccino kegemarannya, tak banyak susu tak terlalu manis. Sedangkan aku masih asyik menyeruput kopi hitam tanpa gula. Pahit memang, tapi tak sepahit hidup.

 Wajah sahabatku tampak lain, dia seperti sumringah dan ceria. Matanya tak seperti biasanya, matanya penuh kata-kata yang ingin segera ia ucapkan padaku.

“Apalagi yang kau punya hari ini?” tanyaku.

Dia senyum padaku. Matanya berbinar memancarkan suka. Senyumnya merekah, tak lama tawanya merambah kesunyian kedai di sore itu.

“Sahabatku, tampaknya kau terlihat bahagia..ada apa yang terjadi? Apa roti-rotimu banyak laku terjual? Ah tampaknya bukan. Apa kau baru saja membaca buku humor khas sufi-sufi yang suka kau agung-agungkan itu? Ah, tampaknya bukan juga. Lalu apa?” aku menyeruput kopiku lagi, menyesap rokokku lagi.

“Hahaha. Aku tak sesenang ini jika itu yang kau anggap bisa membuatku gembira. Roti-rotiku sering terjual banyak, aku tak sesenang ini. Ya, aku senang jika rotiku terjual banyak, tapi tak lama, karena kegembiraanku tak lama kemudian habis, sibuk berpikir untuk mengatur uang-uangku. Hahaha. Jika kau pikir humor-humor sufi membuatku sesenang ini, itu pun tidak. Aku tak akan sesenang ini karena mendengar humor rumi atau al hallaj. Bagiku humor-humor itu bukan untuk tertawaan. Bukan untuk penghiburan, bagiku itu sebuah pertanyaan.” Dia berkata lugas, namun tetap tak bisa menyembunyikan senyum rahasia itu di wajahnya.

“Lalu apa? Apa kau kemari untuk membiacarakan usaha rotimu, atau ide-ide Rumi yang tak pernah kita mengerti? Aku hanya penasaran ada apa di balik senyummu yang tak biasa itu.”

“Senyumku tak biasa ya. Bisa jadi karena perasaanku yang tak biasa juga. Ya, wajah adalah cerminan hati. Bisa benar begitu, aku bukan psikopat yang hebat dalam urusan merubah wajah agar tak sesuai kata hati. Ya, aku sedang mengalami satu perasaan hebat yang tak kunjung reda. “

“Perasaan hebat? Ah, jangan-jangan kau sedang jatuh cinta..?”

“Apa lagi hal klise di dunia ini yang bisa membuatku tersenyum rahasia seperti yang kau bilang tadi. Apa lagi hal populer di dunia ini yang bisa membuat orang begitu terpikat untuk mengalaminya. Iya, aku jatuh cinta, sahabatku.”

“Hahahah. Cinta? Kau jatuh cinta. Ibuku pernah bilang padaku, jika kau berani-berani jatuh cinta, kau harus berani patah hati wahai sahabatku. Siapkah kau untuk itu? Perempuan mana yang kau cintai itu?”

“Memang benar kata ibumu. Tapi bukan berarti nasihat itu membuat aku menolak untuk jatuh cinta. Seperti yang kau lihat, jatuh cinta itu membuat aku seperti orang gila. Senyum-senyum seperti ini, ya bukan cinta namanya kalau tidak gila. Anggap saja ini kegilaan yang menyenangkan. Hahaha. Kata-kata ibumu memang benar. Cinta memang akan membawa patah hati. Segala sesuatu diciptakan berpasang-pasangan di dunia ini. Sebab akibat, hidup mati, baik buruk, begitu pun cinta. Ya, anggap saja dualisme yang menimbulkan harmoni.”

 “Aku tak menyalahkanmu untuk jatuh cinta, itu perasaanmu, itu yang akan kau alami sendiri. Saranku cuma satu, jangan kau terlalu mencintai seseorang jika tidak mau takdir cemburu.”
“Hahaha. Biarlah takdir yang menentukan, dia akan cemburu atau tidak. Kita akan mengetahuinya nanti..”

“Jadi siapa perempuan itu? Nyonya yang ditinggal mati suaminya langganan rotimu?”

“Bukan. Hahaha. Tentu saja bukan. Perempuan itu aku temui di pesta dansa kemarin. Wajahnya lugu, sepertinya beberapa tahun lebih muda dariku. Tentu saja ia cantik, menurut versiku. Matanya cantik menurut versiku, bibirnya cantik menurut versiku…”

“Stop. Jangan kau teruskan tentang relatifitas cantik itu. Lalu, apa yang terjadi ketika malam pesta dansa itu?”

“Aku mencium bibirnya.”

“hahaha. Kau berani mencium bibirnya pada saat pertama kali bertemu? Kau anggap itu cinta bukan birahi?”

“Sahabatku, cinta tanpa birahi sungguhlah sulit. Terkecuali untuk ibu, adik-adikku, saudara-saudara perempuanku yang dekat dengan keluargaku. Tentu saja cintaku padanya bukan termasuk cinta platonik yang terlepas dari unsur-unsur fisik seperti kata Plato. Aku pun sebenarnya tak mau mengotakkan cinta apa yang ku alami saat ini. Biarkanlah cinta ini mengikuti alurnya. Biarkanlah aku menikmati rasa ini.”

“Ya, biarlah. Tak ada yang melarang kau jatuh cinta. Lalu, perempuan mana yang kau cium di pesta dansa itu? Bukan perempuan mabuk kan?”

“Tentu saja bukan. Dia anak perempuan dari keluarga yang mengadakan pesta dansa itu. Anak perempuan satu-satunya di keluarga itu. Anak perempuan dari keluarga Capulet.”

“Apa?? Keluarga capulet. Kau menyelinap masuk di pesta dansa keluarga capulet? Benar-benar kau ini. Baru saja aku bilang tak ada yang melarang kau jatuh cinta. Berlakukah kata-kataku itu jika perempuan yang kau cintai adalah anak perempuan dari keluarga Capulet?”

“Bisa iya, bisa jadi tidak. Apakah dengan larangan aku akan mati dan tak bisa berbuat apa-apa? Sahabatku, aku benar-benar mencintainya. Aku tak peduli dari keluarga mana ia berasal, aku tak peduli dia Capulet. Aku tak peduli keluarganya adalah musuh bagi keluargaku. Aku tak peduli itu, jika aku mengatakan aku mencintainya dan mundur untuk memperjuangkan dan lebih memilih diam karena larangan, berarti aku tak benar-benar menginginkannya.”

Dia menyeruput kopinya sebentar, sambil terburu-buru beranjak pergi. Lalu berkata, “Aku akan menikahinya, jika perlu bertaruh nyawa.”


Kopiku mendingin.

Rabu, 02 Desember 2015

Mati Mematung

Tidak ada yang benar-benar mati, kecuali untuk patung.

Kata mati untuk seseorang yang masih hidup, tampaknya tidak pas. Bahkan orang yang sudah meninggal tidak lantas mati menurut kitab suci. Dalam buku Psikologi Kematian disebutkan kata mati hendaknya diganti dengan 'pulang'. Ke mana pulangnya? Tidak tahu. Tetapi menimbulkan rasa optimis di dalamnya.

Salah satu aliran agama melarang adanya patung berwujud manusia  disimpan di dalam rumah. Bahkan lukisan berbentuk manusia atau hewan katanya tidak boleh. Alasannya rumahnya tidak akan diberkati Tuhan. Tai kalau kata saya.

Bukan patung, lukisan atau benda mati menyerupai manusia yang tidak boleh disimpan di dalam rumah. Tetapi  manusia yang menyerupai patung yang justru tidak akan diberkahi Tuhan. Manusia yang seperti patung, mati, tidak bergerak, tidak memberi manfaat bagi orang-orang sekitarnya.

Sedangkan yang kita lihat sekarang ini, orang-orang yang mengaku taat pada ajaran agama masih saja asal jeplak. Tidak boleh ada patung di dalam rumah nanti dimasuki jin, atau nanti rumahnya tidak berkah. Pret!

Kita bukan patung yang hanya memiliki pilihan untuk dipajang. Pilihan selalu ada, apalagi menyangkut profesi atau menghasilkan uang. Kembali pada kita untuk selalu berpikir, tidak makan mentah-mentah seperti contoh patung di atas.

Pantaskah kita bilang mati untuk sekadar putus dari satu profesi? Jika iya, terima saja jika dipanggil patung.




Rabu, 25 November 2015

Eksekusi Mati

Ada orang-orang (saya) yang kerap memutuskan sesuatu hanya berdasarkan perasaan. Sebagai seorang INFP (Introversion, Intuition, Feeling, Perception), hal tersebut adalah sifat yang sangat mendasar. Para INFP sangat sangat irasional dan mengutamakan perasaan dan kenyamanan mereka.

Senin, 16 November 2015

"We Hate It When Our Friends Become Successful"

Inget lagu Morrissey? Kenapa kita benci jika melihat teman kita 'sukses'. Sedangkan kita merasa masih begini-begini saja. Merasa tidak bergerak maju. Enggan mengucap mundur. Paling banter berani mengakui tidak kemana-mana.

Kita melihat foto orang-orang yang kita kenal lewat media sosial. Diunggahlah foto-foto dengan latar belakang pemandangan yang eksotis, atau foto-foto pencapaian mereka di antara hari-harinya. Mencapai puncak gunung, menggapai mimpi pernikahan, atau berhasil tampil di panggung-panggung publik.

Aku benci melihat foto-foto itu. Rasanya mereka hidup senang dan gembira, sedangkan aku? Masih disini-sini saja. Ga kemana-mana.

Apa mereka benar sesenang itu? Sesuka itukah mereka seperti pose-posenya?

Aku benci mereka. Atau aku yang ternyata membenci diriku sendiri?

***